04 Oktober 2024

7 Bapa Kudus, Pendiri Ordo Hamba-hamba Maria (OSM)

Sejarah Singkat Lahirnya Ordo

    Ordo Hamba-Hamba María, dikenal dalam bahasa Latin-nya "Ordinis servorum Maríae (OSM)". Kami digolongkan sebagai Ordo karena merupakan salah satu institusi religius tertua di dunia. Kami adalah sebuah keluarga religius yang berkarya dalam pelayanan Injil dan Gereja dengan cara hidup persaudaraan terinspirasi oleh teladan Santa María Bunda Allah, Hamba Tuhan. Ordo ini dibagi dalam tiga cabang yakni: Frailes Hamba-hamba Maria yang merupakan cabang pria, Suster-suster Hamba-hamba Maria cabang feminim, satu biara kontemplatif dan 21 kongregasi suster Hamba-hamba Maria aktif. Dan yang ketiga adalah Ordo sekulir, Hamba-hamba Maria dari golongan awam.
    Ordo ini didirikan pada abad XIII di Florence, Italia tepatnya pada tahun 1233 oleh 7 orang laki-laki. Mereka semua adalah awam dan berprofesi sebagai pedagang kain sutera. Pedagang kain sutera pada masa itu terbilang ke dalam kelas sosial menengah ke atas. Ketujuh Bapa Awal yang dimaksudkan di sini ialah para Bapa Pendiri Ordo Hamba-hamba Maria. Mereka adalah para hamba Maria yang setia kepada Kristus dan Bunda Maria dalam kemiskinan dan pertobatan yang mendalam. Allah memanggil mereka dengan nama mereka masing-masing untuk melayani secara khusus sang Bunda perawan. Bunda Maria dan para saudara seordo biasa memanggil nama mereka demikian: St. Alexius, St. Bonfilius, St. Amadeus, St. Bonajunta,  St. Manetus, St. Sostenes, dan St. Hugo. Mereka disatukan oleh ikatan persahabatan serta cita-cita yang sama dalam kasih kepada Kristus dan Santa Perawan Maria untuk bersama-sama menghidupi dan mengabdikan diri dalam doa, kontemplasi, dan karya amal yang mendalam. 
    Menurut Legenda Ordo Hamba-hamba María, mereka diiringi dalam mimpi oleh Bunda perawan María untuk hidup sebagai saudara dan melayaninya seumur hidup mereka. Dan pada akhirnya, mereka bertemu dan memulai hidup bersama di luar kota Florence yang bernama Cafaggio.
    Cafaggio adalah sebuah kawasan yang saat itu berada di luar tembok kota Florence, dan di sana mereka meluangkan waktu sepenuhnya untuk memuji Allah dan Bunda María. Namun kegiatan mereka tidak hanya sebatas doa, mereka juga membantu orang sakit, orang yang lapar, orang miskin, mereka yang membutuhkan bantuan spiritual dan lain sebagainya. Ketenaran mereka terdengar sampai ke seluruh penjuru, sehingga banyak orang datang untuk berdoa bersama mereka, dan meminta bantuan spiritual. Lambat laun, mereka mengundurkan diri ke sebuah bukit bernama Monte Senario yang terletak kurang lebih sepuluh km dari kota Florensia, yang diberikan oleh Uskup Ardingo, untuk lebih meluangkan waktu didalam doa serta memanjatkan puji-pujian kepada yang Mahakuasa dan kepada Bunda yang tercinta Perawan María.
    Sekitar tahun 1233, ketika Firenze dilanda perang saudara antara Paus dan Kaisar Frederik II, mereka bersatu dan bertekad bulat dengan cita-cita Injili yang sama akan persekutuan persaudaraan dan pelayanan kepada orang-orang miskin, memutuskan hidup bersama dalam kesunyian sebagai lambang mati raga dan pertobatan dalam kontemplasi. Seiring semakin matangnya niat untuk melayani Allah dan Bunda Maria, mereka kemudian meninggalkan rumah, keluarga, isteri, dan pekerjaan demi hidup dalam persekutuan bersama di luar tembok kota untuk melayani orang-orang miskin yang terlantar tanpa penolong. Profesi mereka sebagai pedagang kain sutera yang mahal dan kaya pun ditanggalkan. Mereka berani meninggalkan segala kenikmatan duniawi demi Kerajaan Allah dan menepi ke Monte Senario (gunung yang bergema). Pendakian tersebut terjadi pada tahun 1246. Mereka pun saling menguatkan ketika di antara mereka merasa bahwa pendakian itu bukanlah hal mudah serta mengalami banyak kesulitan dalam perjalanan dan pendakian menuju puncaknya. Mereka saling menguatkan dengan perkataan:“tempat ini adalah tempat yang disiapkan Allah bagi kita.”

Semangat Kemiskinan yang Tetap Hidup

    Latar belakang mereka sebagai pedagang mengharuskan mereka bekerja sebagai  pembeli dan penjual barang-barang duniawi. Mereka bekerja untuk menafkahi kehidupan keluarga mereka. Ketika mereka menemukan "Mutiara Berharga" yang sangat mahal dan bernilai lebih mulia dan agung dari mutiara duniawi, yakni Kristus, Putera Bunda Maria yang mereka layani, mereka kemudian tidak hanya memberikan segala yang dimiliki kepada kaum miskin dan terlantar, tetapi juga berani mempersembahkan hidup mereka sendiri sebagai kurban yang layak kepada Kristus, Putera Bunda Maria dengan semangat kegembiraan dan kesetiaan melayani semua orang, terutama mereka yang miskin dan terlantar. Dengan menghayati hidup mereka yang baru, mereka bahkan lebih bahagia dapat hidup sebagai saudara dengan orang lain. Mereka memberikan kepada orang lain apa yang mereka butuhkan dan menjadikan diri mereka sendiri miskin oleh karena Kerajaan Allah. 

    Setelah memutuskan untuk memulai hidup dalam persekutuan sebagai saudara dan karena terdorong oleh inspirasi ilahi dan panggilan Maria, mereka berani meninggalkan rumah dan keluarga mereka, meninggalkan hal yang penting dalam hidup mereka, dan kekayaan yang pernah mereka miliki sebelumnya mereka bagikan kepada orang-orang miskin yang sangat membutuhkannya, sementara mereka ingin merasakan bagaimana berada di posisi orang yang dipandang Allah sebagai orang yang miskin di antara yang miskin.

    Oleh karena kesetiaan dan besarnya rasa cinta kepada Allah melebihi segala sesuatu di bumi ini, mereka mempersembahkan segala yang mereka miliki, mempersembahkan segala bentuk perbuatan atau karya mereka kepada Allah, menghormati Allah dengan pikiran, perkataan, dan perbuatan mereka sendiri. Mereka benar-benar meninggalkan segala hal menyangkut keduniawian dan dengan total menyerahkan segalanya kepada Allah, meski mereka berasal dari keturunan bangsawan kaya yang bekerja sebagai pedagang kain di kota Firenze hingga hampir seluruh benua Eropa. Hal ini menjadi kharisma bagi Ketujuh Bapa Awal yang menurut pandangan Kristiani merupakan anugerah istimewa dalam hidup manusia. Keputusan ini menjadi langkah mulia mengikuti Kristus dalam semangat yang besar akan hidup kontemplasi dan mati raga sebagai eremit.

    Bersama Maria mereka berjalan beriringan memperoleh mutiara berharga, yakni Yesus Kristus dan Bunda Maria. Mereka berjanji mengikuti Kristus dengan sepenuh hati dan memberi kesaksian tentang Injil-Nya serta secara terus menerus menjadikan perawan terberkati sebagai inspirator dan Ratu mereka serta keteladanan hidup menurut Regula St. Agustinus. Oleh karena berkat kesaksian hidup dan perilaku yang baik serta sikap yang mengesampingkan kepentingan pribadi masing-masing, mereka menjadi teladan yang mampu menarik semua orang untuk hidup seperti mereka dalam kemiskinan dan pengosongan diri di hadapan Allah dan Maria tanpa terikat oleh berbagai macam hal dan persoalan duniawi.
    Setelah mendirikan pondok kecil di puncak Monte Senario, mereka pun pindah dan tinggal di sana secara bersama-sama sebagai satu persekutuan yang tetap setia kepada Allah dan Bunda Perawan Maria. Di tempat inilah, mereka mulai menyadari bahwa Bunda Maria menyatukan mereka bukan sebagai jalan untuk mengusahakan kekudusan masing-masing, tetapi menjadikan mereka sebagai sarana yang dapat menarik semua orang lebih dekat dengan Kristus melalui Bunda Maria yang terpancar lewat kehidupan dan karya mereka terhadap sesama yang membutuhkan bantuan mereka. Dengan demikian, mereka selalu mempersiapkan diri menerima saudara-saudara yang ingin bergabung dalam persekutuan bersama mereka sebagai langkah awal pendirian dan penyebarluasan Ordo dengan tetap menerapkan keteladanan Bunda Maria ketika dia masih hidup bersama Sang Putera.
    Ketujuh Bapa Awal telah memberikan teladan dan makna kehidupan yang sangat mulia bagi manusia. Bagi dunia saat sekarang, sangat susah menemukan orang yang dengan rela dan berani menanggung penderitaan demi membantu dan menyelamatkan sesama manusia. Hampir semua manusia takut pada namanya kemiskinan. Manusia tidak ingin menderita, apalagi kalau hal demikian terjadi karena kekayaan yang dimiliki telah didonasikan untuk karya amal. Kemiskinan sungguh merupakan satu keadaan bagi manusia yang terkesan sangat menakutkan.
    Ketujuh Bapa Awal telah memberikan pelajaran yang sangat mulia bagi perkembangan dan kemajuan Ordo Hamba-hamba Maria. Pelajaran ini menyangkut tindakan dan tutur kata yang selalu diarahkan dengan baik dan bertujuan membantu orang lain yang sangat membutuhkan bantuan. Mereka memberikan makna terdalam dari arti kehidupan yang sesungguhnya yakni tidak ada satu manusia pun yang mampu berdiri di atas hidupnya sendiri tanpa sekali pun memandang ke arah sesama yang membutuhkan bantuan. Jika ada orang yang demikian, pelajaran ini telah menjadi bumerang keberadaannya di dunia ini.
    Ketujuh Bapa Awal dalam perjalanan hidup mereka sangat dekat dengan kemiskinan, bahkan keadaan itu dicari dengan sepenuh hati. Ketika mereka menemukan kemiskinan, mereka merasa menemukan mutiara yang sangat berharga yakni Kristus dan Bunda Maria, sehingga kekayaan yang mereka miliki sebelumnya ditinggalkan dan dijual untuk membeli mutiara berharga itu. Mereka telah berani meninggalkan segalanya demi mendapatkan mutiara berharga yang hanya dapat mereka temukan dalam diri orang-orang yang menderita dan miskin tanpa penolong.
    Ordo ini diaprobasi pada tanggal 11 Februari tahun 1304 oleh Paus Benediktus XI dengan Bula/surat Dum Levamus. Karisma OSM ialah devosi kepada Bunda Maria, Persaudaraan, dan Pelayanan. Sementara spiritualitasnya ialah "Mater Dolorosae," St, Perawan Maria di bawah kaki Salib Yesus, Puteranya. Misi Ordo Hamba-hamba Maria adalah membawa dan memperkenalkan Kristus dan Injil-Nya kepada seluruh umat manusia; juga diwajibkan sebagai biarawan Ordo ini, mengenal secara mendalam, menghormati, menjaga, membela, dan memuliakan Bunda Allah, Santa perawan Maria, dan melayani Kristus dalam rupa saudara-saudara yang menderita, yang sakit, yang miskin, yang diabaikan dan lain-lain.


26 Juni 2024

Pembaruan Trikaul VI & Persiapan Kaul Kekalku sebagai Biarawan Ordo Hamba-hamba Maria

   Setiap tanggal 30 Juni, aku bersama kesembilan saudaraku menjalani momen istimewa dalam hidup kami sebagai biarawan. Lima di antara kami berada di komunitas 7 Bapa Pendiri di Malang, sementara empat lainnya berkarya di Meksiko. Pada hari itu, kami berkumpul untuk memperbarui Kaul-kaul kebiaraan kami. Ritual tahunan ini dapat dianalogikan dengan perayaan ulang tahun Kaul perdana kami. Tahun ini menandai pembaruan Kaul untuk keenam kalinya sejak kami pertama kali mengucapkannya. Momen ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan hidup religius kami sebagai para hamba Maria. Ini bukan sekadar formalitas, melainkan kesempatan berharga untuk mengevaluasi kembali komitmen dan dedikasi kami kepada Tuhan dan sesama.
    Dalam prosesi pembaruan Kaul ini, kami diajak untuk merenungkan kembali janji-janji yang telah kami ucapkan. Kami merefleksikan bagaimana kami telah menghidupi Kaul-kaul tersebut selama setahun terakhir, mengakui kekurangan kami, dan memperbarui tekad untuk hidup lebih setia pada panggilan ini. Pembaruan Kaul juga menjadi momen untuk menguatkan ikatan persaudaraan di antara kami. Meskipun terpisah jarak, dengan sebagian berada di Indonesia dan sebagian di Meksiko, kami dipersatukan dalam semangat dan tujuan yang sama. Kami saling mendukung dalam doa dan semangat, menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya milik pribadi, tetapi juga milik komunitas.
    Sebagai para hamba Maria, kami berusaha meneladani sikap pelayanan dan kesetiaan Bunda Maria. Pembaruan Kaul ini menjadi pengingat akan panggilan kami untuk menjadi saksi kasih Kristus di dunia, mengikuti jejak Maria yang setia. Kami berharap, melalui pembaruan komitmen ini, kami dapat semakin bertumbuh dalam iman dan pelayanan, membawa kehadiran Kristus ke tengah masyarakat yang kami layani.
    Setiap kali aku memperbarui kaul-kaulku - kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian - aku merasa seperti menegaskan kembali janji pernikahanku dengan Kristus dan bunda Maria. Ini bukan sekadar formalitas atau rutinitas tahunan, melainkan sebuah kesempatan untuk menyelami lebih dalam makna panggilan hidupku. Dalam proses ini, aku diajak untuk merefleksikan bagaimana aku telah menghidupi kaul-kaul ini selama setahun terakhir, mengakui kegagalan dan kelemahanku, serta memperbaharui tekadku untuk hidup lebih setia pada panggilan ini.

23 Juni 2024

Minggu, 23 Juni 1996 - Minggu, 23 Juni 2024

     Aku lahir pada hari Minggu, 23 Juni 1996 yang membawa harapan dan mimpi baru bagi keluargaku. Pada hari ini, usiaku sudah 28 tahun. Usia yang sudah tidak muda lagi, namun tidak mengarah kepada penuaan dini. Yang paling membahagiakan bagiku pada masa ulang tahunku pada tahun ini ialah terjadinya penggenapan hari, yakni hari Minggu. Minggu, 23 Juni 1996 dan Minggu, 23 Juni 2024. Ini merupakan kesempatan yang langka dan unik karena boleh benar-benar merasakan kehadiranku di dunia pada saat dan waktu yang tepat. Pada hari ini, aku boleh berbangga diri karena diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk merasakan kelahiranku yang kedua dari rahim seorang wanita hebat bernama mama. Kepada Sang Khalik, terima kasih telah memberikan kesempatan yang berharga ini kepadaku hingga diperkenankan merasakan hari di mana aku dilahirkan 28 tahun yang lalu. 
    Dalam tulisan singkat ini, aku akan merefleksikan perjalanan hidupku yang dimulai dari langkah-langkah kecil di SDK Kedindi, tempat aku menghabiskan enam tahun pertama pendidikanku. Di sana, aku belajar membaca, menulis, dan menghitung, namun yang lebih penting, aku mulai memahami arti persahabatan dan kerja keras orang tua dan guru dalam mendidikku hingga hari ini. Keluargaku memiliki komposisi yang unik dan istimewa. Kami terdiri dari lima orang anak, semuanya laki-laki, yang dalam bahasa Jawa dikenal sebagai "Pandawa". Layaknya kisah pewayangan Mahabharata, kami berlima tumbuh bersama di bawah asuhan seorang wanita tangguh bernama Mama dan seorang pria pekerja keras bernama papa. Mama, ibarat Kunti dalam cerita Pandawa, menjadi pilar kekuatan dan kebijaksanaan dalam keluarga kami. Sebagai salah satu dari lima bersaudara, aku merasakan dinamika khusus dalam keluarga. Kami belajar untuk saling mendukung, bersaing secara sehat, dan menjaga satu sama lain. Setiap dari kami memiliki peran dan karakteristik unik, seperti Pandawa dalam kisah pewayangan. Ada yang mungkin lebih bijaksana seperti Yudhistira, yang kuat seperti Bima, cerdas seperti Arjuna, atau memiliki keterampilan khusus seperti Nakula dan Sadewa.
    Saat memulai pendidikan di SDK Kedindi, aku membawa nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluargaku. Persahabatan yang kujalin di sekolah memperluas pemahaman tentang keluarga, menunjukkan bahwa ikatan yang kuat bisa terbentuk di luar hubungan darah. Kerja keras yang kualami di rumah membantu aku menghadapi tugas-tugas sekolah dengan tekun. Memasuki masa remaja, aku melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi setingkat di atas SD yakni SMPN Terbuka Reok selama tiga tahun. Periode ini membuka wawasanku lebih luas, memperkenalkanku pada berbagai tantangan dan kesempatan baru. Aku mulai mengenal diriku lebih dalam, menemukan minat dan bakatku bersama dengan para guru dan teman-teman seperjuangan yang kini sudah berbeda jalan. 
    Tiga tahun berikutnya kuhabiskan di SMAK St. Gregorius Reok, di mana aku tidak hanya memperdalam pengetahuan akademis, tetapi juga mengembangkan nilai-nilai spiritual yang kelak akan sangat memengaruhi arah hidupku. Setelah lulus SMA, aku merasakan panggilan yang lebih dalam dari kedalaman hatiku. Aku memutuskan untuk menjalani masa formasi dalam komunitas St. Maria hamba Tuhan Ruteng selama tiga tahun. Periode ini menjadi titik balik dalam hidupku, di mana aku belajar tentang pengabdian, refleksi diri yang mumpuni, dan makna hidup yang lebih dalam. Aku menemukan kekuatan dalam doa dan pelayanan kepada Tuhan dalam diri sesama, yang membentuk fondasi kuat bagi perjalanan spiritualku.   

    Perjalananku berlanjut dengan masa formasi lanjutan sebagai Profes S1 selama empat tahun di Malang. Di sini, aku tidak hanya memperdalam pengetahuan teologis dan filosofis, tetapi juga belajar untuk menerapkan ajaran-ajaran ini dalam kehidupan sehari-hari. Aku dihadapkan pada berbagai pemikiran dan perspektif baru yang memperkaya pemahamanku tentang iman dan kemanusiaan. Setelah menyelesaikan studi S1, aku diberi kesempatan untuk menjalani masa pastoral di Paroki Maria Diangkat ke Surga (MDKS) - Tumpang, selama sepuluh bulan. Pengalaman ini membuka mataku pada realitas kehidupan masyarakat dan umat secara umum, mengajarkanku tentang empati, kesabaran, dan pentingnya menjadi teladan bagi orang lain. Aku belajar bahwa teori yang kupelajari harus diterjemahkan menjadi tindakan nyata untuk membawa perubahan positif bagi perkembangan iman umat yang kulayani.
    Kini, di usiaku yang ke-28 tahun, aku sedang berusaha menyelesaikan semester tiga dan empat tingkat dua S2. Refleksi atas perjalanan hidupku membuat aku sadar betapa banyak yang telah kualami dan kupelajari dalam hidup. Dari seorang anak kecil di SDK Kedindi hingga menjadi mahasiswa pascasarjana, setiap tahap telah membentukku menjadi diriku yang sekarang. Aku merasa bersyukur atas setiap kesempatan, tantangan, dan pelajaran yang telah kuterima. Perjalanan ini telah mengajarkanku tentang ketekunan, kerendahan hati, dan pentingnya terus belajar tanpa lelah. Aku sadar bahwa setiap pengalaman, baik yang menyenangkan maupun yang sulit, telah berkontribusi pada pertumbuhan pribadi dan spiritualku.
    Menatap ke depan, aku merasa optimis namun juga sadar akan tanggung jawab yang kuemban. Pendidikan dan pengalaman yang telah kudapatkan bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi juga untuk melayani orang lain dan membawa perubahan positif di masyarakat. Aku berharap dapat menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang telah kuperoleh untuk terus berkontribusi dalam pelayanan dan pengembangan diri serta orang lain.
    Pada ulang tahunku yang ke-28 ini, aku tidak hanya merayakan bertambahnya usia, tetapi juga mensyukuri perjalanan yang telah membentukku. Aku menyadari bahwa masih banyak yang harus kupelajari dan capai, namun aku merasa siap menghadapi tantangan dan kesempatan yang akan datang. Dengan fondasi yang telah dibangun selama 28 tahun ini, aku berharap dapat terus tumbuh, melayani, dan memberi makna bagi kehidupanku dan orang-orang di sekitarku, terutama mereka yang dipercayakan Tuhan untuk dilayani dengan cinta yang ikhlas seperti teladan yang diajarkan-Nya.

03 Mei 2024

Perjalanan Iman dari Paskah menuju Kenaikan hingga Pentakosta

    Orang Katolik tentu sudah mengenal arti kata Paskah, Kenaikan Tuhan Yesus Kristus ke Surga, dan Pentekosta. Lebih jauh lagi dapat dikatakan, bukan hanya mengenal melainkan sudah mendalaminya dengan sungguh-sungguh lewat pendalaman iman, mendengarkan Sabda Allah di Gereja setiap hari Minggu, dan belajar autodidak tentang Kitab Suci dan ajaran-ajaran Yesus. Semua itu merupakan kewajiban bagi semua orang Katolik agar dapat memahami imannya secara lebih dewasa dan bertanggungjawab. Namun, hutang terbesar semua orang Katolik ialah tidak sampai pada penghayatan dan aplikasi Firman kepada sesama secara nyata. Kita lebih cenderung menerima Firman dan menyimpannya dalam perbendaharaan kitab suci kita sendiri, mengolahnya sendiri, dan menikmatinya sendiri, tanpa peduli dan mengingat bahwa semua orang yang sedang berada dalam masa terrendah hidupnya membutuhkan kekuatan dan peneguhan dari kita sebagai dirinya yang lain yang berada di luar dirinya sendiri.
    Semua orang percaya bila kita meneguhkan frasa "tidak ada satu pun manusia hidup dan mati bagi dirinya sendiri." Semua orang, baik itu orang yang dibedakan berdasarkan kelas sosial, tingkat hidup, dan agama, semuanya percaya akan frasa tersebut. Lalu, pertanyaan yang bisa saja muncul secara spontan ketika orang melihat tulisan demikian, apakah benar demikian adanya? Kita tahu bahwa ada begitu banyak orang yang menderita di luar sana, yang menderita kelaparan, penganiayaan, penindasan, pengasingan, dan penolakan yang mengandalkan diri mereka sendiri untuk bekerja dan hidup di dunia yang mengharuskan mereka merendahkan harkat dan martabat mereka sendiri di hadapan sesama. Benar dan tepatkah frasa tersebut bila disandingkan dengan kenyataan yang menyayat hati seperti demikian? Ataukah hal demikian perlu kita tinggal dan tanggalkan di masa lalu?
    Mari kita bersama-sama meninggalkan segala penderitaan dan kemelaratan, baik mental maupun fisik di masa lalu, menyambut kemenangan Kristus di Salib dalam perayaan Paskah, menantikan kehadiran Kristus yang kedua seperti pada masa kenaikan-Nya ke Surga, dan masa penghiburan saat Pentekosta. 

Masa Paskah
    
    Kematian adalah peristiwa alami yang harus dialami oleh semua makhluk hidup apapun jenisnya di dunia ini. Namun, manusia yang berkumpul bersama Tuhan Yesus ikut serta mengalami kemenangan atas kematian hidup di dunia. 
Apakah kita semua, yang merayakan Paskah sungguh berbahagia dapat merayakan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus sekarang ini? Kita mendapat kesempatan yang sangat berharga dibandingkan dengan sebagian manusia lain yang tidak dapat merayakan dengan hikmat peristiwa iman kebangkitan Yesus Kristus dari alam maut.
    Ada orang yang bertanya apa itu Paskah? Mengapa? Apa maknanya bagi kita yang masih berziarah di dunia ini sementara peristiwa paskah itu sudah terjadi di masa silam? Kita sebagai orang Kristiani yang merayakan Paskah setiap tahun mungkin sudah merasa biasa saja dan berlalu tanpa makna. Kita dapat bertanya apakah masih diperlukan merayakan Paskah dengan meriah, bahkan dengan pesta yang besar? Ataukah dianggap biasa-biasa saja karena sering mengalami dan melakukannya, bahkan setiap tahun? Ada beberapa hal penting mengenai Paskah yang perlu kita telusuri lebih jauh:
  Pertama, Paskah merupakan kemenangan atas kematian. Kematian menjadi peristiwa sangat menakutkan bagi manusia. Kematian merupakan tanda kehancuran seluruh sisi kehidupan kita. Manusia berusaha menghindari kematian dengan bermacam cara, bahkan sampai mengerahkan seluruh harta untuk dijual demi menjamin hidup bebas dari kematian yang tak mungkin dihindari. Benarkah pemikiran bahwa kematian selalu menang atas kehidupan manusia? Orang beriman Katolik meyakini bahwa sudah terjadi kemenangan hidup manusia atas kematian. Apa yang diperagakan Yesus menjadi bukti kebenaran bahwa hidup menang atas kematian. Dengan demikian berarti kematian yang selama beribu-ribu tahun bahkan sejak manusia diciptakan sudah ada dan mendera manusia, sudah berubah sejak kebangkitan Tuhan Yesus Kristus.
    Kedua, Paskah merupakan bentuk kesetiaan dalam pencarian. Suatu fakta manusiawi yaitu banyak orang yang tidak setia mencari Tuhan Yesus dalam kehidupannya. Orang beriman Katolik sekalipun  tidak setia dalam pencarian akan Tuhannya. Mencari Tuhan bukan perkara sederhana tetapi suatu perkara yang kasat mata. Dapat dibayangkan mencari Tuhan yang sudah wafat hampir dua setengah abad silam. Pencarian yang dimaksudkan bukanlah seperti demikian. Bacaan Injil Yohanes tepat mengingatkan kita bahwa mencari Tuhan membutuhkan teknik khusus, yang sulit bagi manusia biasa-biasa saja. Prinsip kesetiaan manusia dewasa ini semakin jarang kita jumpai. Manusia yang bernama Maria Magdalena hadir memberi kesaksian kepada kita semua. Apa yang ia lakukan pada saat Yesus sudah wafat membuktikan janji Allah kepada manusia. Allah akan menepati janji-Nya untuk mempertemukan manusia dengan Yesus Putera-Nya jika manusia setia dalam pencarian akan Yesus. Dalam situasi sulit, sedih, dan galau, Maria Magdalena tidak patah semangat mencari Tuhan Yesus. Dia yakin pasti bertemu Yesus. Keyakinan yang dibangun Maria Magdalena itu membuahkan hasil yang baik. Demikian juga bagi orang beriman masa kini, bila setia mencari Tuhan dalam hidupnya akan berjumpa dengan Tuhan Yesus.
    Ketiga, Paskah menjadi kesaksian akan karya penyelamatan Yesus bagi dunia. Orang beriman Katolik sangat getol bersaksi kepada dunia bahwa Yesus telah bangkit untuk mengalahkan kematian dan menyelamatkan manusia dari dosa-dosa mereka. Perintah bersaksi adalah perintah langsung dari Yesus. Maria Magdalena setelah tahu bahwa Yesus bangkit segera pergi memberitahu murid-murid lain. Ia bersaksi di depan murid-murid Yesus yang belum tahu akan kebangkitan Yesus. Dia tidak mau tinggal berdiam diri. Maria Magdalena terus bersemangat berbicara dan berusaha meyakinkan para murid akan kebangkitan Yesus. Maria Magdalena memberi teladan kepada semua orang beriman bahwa penting dan bersemangat menyiarkan kesaksiannya bahwa Yesus sudah bangkit dan kematian sudah dikalahkan. Apabila iman kita dipendam sendiri dalam hati maka itu pasti kurang baik. Iman harus disiarkan. Pada kesempatan lain Yesus sendiri menegaskan barang siapa bersaksi tentang Yesus maka Yesus akan bersaksi di hadapan Allah tentang orang itu di akhir zaman dan Dia tidak akan menyangkal kita.

Kenaikan Yesus Kristus ke Surga  
    Hari Kenaikan Yesus Kristus ke Surga tidak dirayakan semeriah hari Natal maupun hari peringatan-peringatan lainnya dalam ritus Romawi. Meskipun demikian, hari Kenaikan Yesus Kristus ke Surga ini juga merupakan momen penting bagi umat Katolik seluruh dunia. 
Empat puluh hari setelah kebangkitan-Nya, Yesus dan murid-murid-Nya pergi ke Bukit Zaitun, di dekat Yerusalem. Di sana Yesus berjanji kepada pengikut-pengikut-Nya bahwa mereka akan menerima Roh Kudus, Sang Penghibur yang akan diutus-Nya. Ia menyuruh mereka untuk tetap tinggal di Yerusalem sampai Roh Kudus turun atas mereka. Kemudian Yesus memberkati mereka dan kemudian naik ke Surga di depan mata mereka. Peristiwa kenaikan Yesus ini dikisahkan di Luk, 24:50-51 dan Kis, 1:9-11.
    Lukas menuliskan bahwa kenaikan Tuhan Yesus tersebut merupakan satu kesatuan dengan kematian dan kebangkitan-Nya. Hal itulah yang ditulisnya dan menjadi latar belakang dari kisah kenaikan tersebut. Lukas tidak hanya menulis penderitaan, kematian, dan kebangkitan Yesus, tetapi sampai pada hari Ia terangkat ke Surga. Kepada murid-Nya dan kepada kita semua, Yesus telah membuktikan bahwa Ia hidup. Selama 40 hari lamanya Yesus menampakan diri di depan murid-murid-Nya dan berbicara mengenai Kerajaan Allah. Selain itu, Yesus juga membuktikan bahwa Ia telah bangkit karena hanya orang yang telah bangkit yang dapat masuk ke Surga. Tanpa kebangkitan tidak akan ada kenaikan. Yesus bukan saja bangkit dari kubur, sesuatu yang belum dimiliki oleh pendiri-pendiri agama lain. Tapi lebih dari itu, Dia juga telah naik ke Surga untuk menyediakan tempat bagi kita yang percaya. 
    Di dalam ayat 9 kita membaca: “Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka”. Jadi, kita membaca bahwa Tuhan Yesus terangkat “sesudah Ia mengatakan demikian”. Mengatakan apa? Jawaban tersebut ada pada ayat 8: “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." Dengan perkataan lain, pesan atau perintah terakhir yang diberikan oleh Tuhan Yesus sebelum kenaikan-Nya ke Surga adalah agar para Rasul dan kita semua yang percaya menjadi saksi-Nya di depan semua orang yang belum mengenal Dia.
    Dengan jelas, tertulis di Alkitab, bahwa kenaikan Yesus itu secara sungguh-sungguh terjadi apa adanya, dengan tubuh Fisik-Nya kembali ke Surga. Dia naik dari tanah secara perlahan-lahan dan terlihat jelas; disaksikan oleh banyak orang. Murid-murid yang sedang menatap ke langit berusaha melihat Yesus naik ke Surga, sampai awan menutupi Dia dari pandangan mereka dan menghilang. Dua Malaikat muncul dengan berucap janji bahwa Yesus Kristus akan kembali “sama seperti ketika kamu melihat-Nya naik ke Surga” (Kis 1:11). Dia akan datang dengan cara yang sama.
    Hari Kenaikan Yesus Kristus ke Surga mengingatkan kembali tentang misi kita sebagai umat Katolik di dunia ini yakni mewartakan kerajaan Allah dan menobatkan semua orang yang berdosa untuk kembali kepada jalan yang benar untuk memperoleh keselamatan dalam Nama-Nya. Terkadang kita terlena akan indahnya kehidupan duniawi sehingga melupakan kewajiban kita sebagai umat Katolik. Dengan adanya hari peringatan ini, kiranya kita kembali sadar dan membenahi kehidupan rohani dan spiritualitas kita masing-masing. Perjalanan kita memang masih panjang, namun tiada satu pun yang tahu kapan masa kontrak kita hidup di dunia ini akan berakhir. Sudah saatnya kita mempersiapkan diri untuk menempati rumah di dalam Kerajaan Surga.

Pentakosta
    
    Umat Kristiani telah memperingati hari Kenaikan Yesus Kristus ke Surga yang merupakan pelengkap perayaan Paskah. Sepuluh hari setelah hari Kenaikan, terdapat perayaan berikutnya yang berkaitan dengan Roh Kudus yaitu hari Pentakosta. 
Hari Pentakosta merupakan hari peringatan turunnya Roh Kudus kepada murid-murid Yesus. Hari peringatan ini memiliki makna penting bagi kehidupan iman umat Kristiani yaitu melahirkan jiwa manusia yang baru, memberi mandat penyebaran "Kabar Baik" ke seluruh penjuru dunia dan sebagai pemersatu umat yang percaya akan Nama-Nya.
    Pentakosta berasal dari bahasa Yunani "Pentekoste" yang berarti hari kelima puluh. Pentakosta dirayakan pada sepuluh hari setelah Kenaikan Yesus dan lima puluh hari setelah Minggu Paskah. Gereja Kristen merayakan Hari Pentakosta untuk memperingati turunnya Roh Kudus kepada murid-murid Yesus di Yerusalem. Pentakosta juga dikenal dengan sebutan Minggu Kecil. Sebutan Pentakosta juga dipakai untuk masa sejak hari Paskah sampai Minggu Putih. Selama Pentakosta juga dipakai untuk masa sejak hari Paskah sampai Minggu Putih. Selama masa Pentakosta, puasa tidak diijinkan. Doa diucapkan dengan berdiri, sementara haleluya lebih banyak dinyanyikan.
    Hari Pentakosta merupakan hari di mana Roh Kudus turun kepada murid-murid Yesus. Hal ini dijelaskan dalam Kisah Para Rasul 2:1-11 yaitu, "Ketika tiba hari Pentakosta, semua orang percaya berkumpul di satu tempat. Tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah, di mana mereka duduk; dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. Maka penuhlah Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya. Waktu itu di Yerusalem, diam orang-orang Yahudi yang saleh dari segala bangsa di bawah kolong langit. Ketika turun bunyi itu, berkerumun lah orang banyak. Mereka bingung karena mereka masing-masing mendengar Rasul-Rasul itu berkata-kata dalam bahasa mereka sendiri. Mereka semua tercengang-cengang dan heran, lalu berkata: "Bukankah mereka semua yang berkata-kata itu orang Galilea? Bagaimana mungkin kita mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di negeri asal kita: kita orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libya yang berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, baik orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab, kita mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah."

Mengapa Perayaan-perayaan Itu Dirayakan Setiap Tahun?
    Semua orang yang mengaku diri percaya kepada Sang Ilahi, tentu tidak akan mengelak kalau kita semua menyebut bahwa Yesus Kristus mengorbankan Diri-Nya di Salib satu kali untuk selamanya. Kalau kita mengatakan demikian, kita akan sadar bahwa ketika perayaan-perayaan seperti demikian kita rayakan setiap tahun, bukan berarti bahwa Yesus mengalami hal tersebut juga setiap tahun. Bukan seperti itu. Cara kita berpikir memang tidak salah apabila kita berpikir demikian, namun menjadi penyelewengan apabila pemikiran seperti itu tetap setia kita pertahankan.
    Yesus Kristus adalah seorang Imam Agung yang Sejati. Dalam Injil, Dia dikatakan sebagai seorang Imam Agung seperti Melkisedek yang hanya percaya kepada Allah Pencipta segala yang ada. Namun, pada kenyataannya, Yesus adalah Imam Agung itu sendiri yang hanya kepada-Nyalah segala pujian dan kemuliaan patut kita lambungkan. Melkisedek hadir pada masa Perjanjian Lama dan Yesus hadir sebagai pusat Perjanjian Baru.
    Jadi, perayaan-perayaan di atas yang kita rayakan setiap tahun merupakan perayaan pengenangan akan penderitaan, wafat, kematian, kebangkitan, dan kehadiran Yesus yang kedua kali ke dalam dunia. Dia hadir bukan lagi sebagai Pribadi dengan tubuh manusiawi yang dapat mati, sebab pengorbanan-Nya yang digambarkan pada Perjanjian Lama sudah tergenapi dalam Hidup, Karya, dan Kebangkitan-Nya. Dia hadir sebagai Tuhan yang selalu mengunjungi umat-Nya yang menderita dan membantu kita yang sekarat untuk kembali kepada-Nya. Dia kembali agar kita diselamatkan.


St. Filipus dan St. Yakobus Muda, Rasul Yesus Kristus

    
Filipus Rasul yang berasal dari Betsaida di Galilea adalah seorang murid Yohanes Pemandi. 
Ketika Yohanes memperkenalkan Yesus sebagai anak Domba Allah, Filipus ada di situ. Penginjil Yohanes mengatakan bahwa Yesus memanggil Filipus menjadi muridNya sehari setelah Ia memanggil Petrus dan Andreas [Yoh 1:35-51]. Meskipun tidak banyak cerita tentang dia sesudah kenaikan Yesus, diketahui bahwa Filipus mewartakan Injil di Frigia, sebuah kota tua di Asia kecil. Klemens dari Aleksandria mengatakan bahwa Filipus menderita penganiayaan hebat dan disalibkan dengan kepala di bawah, sebagaimana dialami Petrus di Roma pada masa pemerintahan kaisar Domitianus [81-96].
    Injil Matius, Markus, dan Lukas memasukkan Filipus dalam daftar para Rasul sebagai orang nomor lima setelah Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes. Wataknya yang spontan tanpa ragu-ragu terlihat jelas dalam kisah Injil Yohanes. Ia tanpa ragu-ragu mengikuti Yesus tatkala menerima seruan panggilan Yesus. Keyakinannya tentang kedudukan Yesus sebagai Mesias yang dinantikan Israel dinyatakan jelas kepada Nathanael, “Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam Kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret“.
    Pada peristiwa penggandaan roti untuk 5000 orang, Filipus dengan spontan menjawab Yesus, “Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekali pun masing-masing mendapat sepotong kecil saja“. [Yoh 6:7]. Sebuah cerita yang berhubungan dengan kehidupan Filipus sesudah kenaikan Yesus disajikan oleh Eusebius dan penulis Kristen purba lainnya. Mereka mengatakan bahwa Filipus mewartakan Injil di Frigia dan meninggal di Hierapolis, Asia Kecil. Jenazahnya dimakamkan pula di Hierapolis. Kemudian, relikuinya dikirim ke Roma dan sejak tahun 561 disemayamkan di basilik Rasul-rasul.
    Polycrates, Uskup Efesus, dalam sebuah suratnya kepada Paus Victor II (1055-1057), menyebutkan bahwa dua orang anak Filipus hidup di Hierapolis, sedangkan yang lainnya di Efesus. Papias, Uskup Hierapolis mengenal baik anak-anak Filipus. Dari mereka ia mengetahui bahwa Filipus pernah menghidupkan kembali seorang lelaki yang telah meninggal.
    Tentang Yakobus dikatakan bahwa ia termasuk salah seorang Rasul Yesus. Ia disebut Yakobus Muda untuk membedakan dia dari Yakobus Tua yang sudah terlebih dahulu menjadi Rasul. Ia dikenal sebagai anak Alfeus dan saudara sepupu Yesus. Ibunya Maria termasuk bilangan wanita-wanita yang senantiasa melayani Yesus. Maria inilah yang mendampingi Bunda Maria sampai puncak Golgota, bahkan juga pada saat Yesus dimakamkan. Sebelum menjadi murid Yesus, ia bekerja sebagai petani untuk menghidupi keluarganya.
    
    Dalam Kitab Suci, ia baru dikenal setelah Yakobus Tua dibunuh oleh raja Herodes. Ketika para Rasul terpencar untuk mewartakan peristiwa Kebangkitan Tuhan, dan Petrus mengungsi keluar dari Yerusalem, Yakobus ini tetap tinggal di Yerusalem. 
Ia kemudian menjadi Uskup Yerusalem yang pertama. Di Yerusalem orang-orang Yahudi sungguh menghormati dia. Dia diberi julukan oleh orang-orang Yahudi sebagai “Yang Adil“ karena mengetahui segala hukum Yahudi dan dia sendiri tetap patuh pada Hukum Taurat Musa. Meskipun demikian, sebagai Rasul dan Uskup, ia sangat menjunjung tinggi segala hukum Kristiani dan tidak berkeberatan kalau orang-orang Kristen bukan keturunan Yahudi dibebaskan dari tuntutan Hukum Taurat, terutama kewajiban sunat. Hal ini terjadi pada Konsili pertama di Yerusalem, di mana dia juga tampil berbicara dengan penuh wibawa dan kebijaksanaan.
    Santo Paulus menyebut Yakobus sebagai seorang Sokoguru Gereja sejajar dengan Petrus dan Yohanes (Gal 2:9). Dalam masa kepemimpinannya sebagai Uskup di Yerusalem, ia berhasil mempertobatkan banyak orang Yahudi di Palestina. Ketika diadakan Konsili di Yerusalem pada tahun 49, ia berdebat dengan Paulus tentang seberapa jauh orang-orang Kristen keturunan bukan Yahudi harus menghormati beberapa pokok Hukum Taurat. Karena ulah beberapa kawan Yakobus timbullah keonaran di Antiokhia melawan Paulus. Namun, kedua Rasul ini bersahabat karib ketika Paulus tiba di Yerusalem, Yakobuslah yang menasehatkan agar Paulus pergi ke Bait Allah untuk mentahirkan diri dan memberi persembahan. 
    Paulus menuruti nasehat Yakobus. Tetapi ia ditangkap dan diseret ke hadapan pengadilan. Paulus sebagai warga negara Romawi minta diadili langsung oleh kaisar sendiri. Maka, ia dikirim ke Roma. Demikian Paulus, Rasul bangsa-bangsa kafir itu sampai di Roma berkat 'perantaraan' Yakobus. Tetapi sebaliknya Yakobus dicurigai oleh orang-orang Yahudi karena mereka tidak mendapat kesempatan untuk membalas Paulus. Karena itu, beberapa tahun kemudian Yakobus ditangkap, dilemparkan dari menara Bait Allah lalu dirajam hingga mati pada tahun 62.
    Menurut sejarawan Hegesippus, Rasul Yakobus menghayati suatu cara hidup yang amat keras, antara lain: tidak makan daging dan minum anggur. Ia juga tidak memakai alas kaki dan pakaiannya hanya selembar saja. Banyak waktunya digunakan untuk berdoa sambil berlutut sehingga kulit lututnya menjadi sangat tebal dan keras. Surat-suratnya yang lebih menonjolkan perwujudan cinta kasih kepada sesama, terutama yang miskin dan melarat, dimasukkan dalam Kanon Kitab Suci. 

24 Maret 2024

Minggu Palma dan Maknanya Bagi Umat Katolik

    Minggu Palma merupakan salah satu hari perayaan umat Katolik sebagai pembukaan sebelum memasuki pekan suci menyambut perayaan Paskah. Berikut serba-serbi Minggu Palma yang menjadi momen penting bagi umat Katolik untuk mengenangkan kembali peristiwa Yesus Kristus dieluk-elukkan, disambut dengan sukacita, dan diarak ke Yerusalem sebagai seorang raja. 
    Hari Raya Paskah selalu dirayakan oleh umat Katolik setiap tahun. Perayaan tersebut dimulai dengan Rabu Abu dan pada minggu terakhir sebelum perayaan Paskah, umat Katolik akan merayakan Minggu Palma untuk mengenangkan sengsara Yesus setelah disambut dengan meriah di pintu gerbang Yerusalem.

Apa itu Minggu Palma
    Minggu Palma / Palem atau secara resmi disebut Hari Minggu Palma Mengenangkan Sengsara Tuhan adalah hari peringatan dalam liturgi Gereja Kristen, terutama Gereja Katolik Roma. Minggu Palma selalu jatuh pada hari Minggu terakhir tepat sebelum Minggu Paskah.
    Dalam liturgi Minggu Palma, umat umumnya mendapatkan daun palem dengan ruang gereja dipenuhi ornamen palem yang hijau dan meniru orang-orang di zaman dulu yang mengelu-elukan Yesus dengan daun palem dalam penyambutan-Nya di gerbang kota menantikan penderitaan-Nya di hadapan Allah dan umat manusia.
    Selain itu, umat juga akan mendengarkan pembacaan kisah-kisah sengsara Yesus yang diambil dari Injil. Pembacaan kisah sengsara Yesus dalam liturgi Minggu Palma dimaksudkan agar umat mengerti bahwa kemuliaan Yesus bukan hanya terletak pada kejayaan-Nya memasuki Yerusalem, melainkan pada peristiwa kematianNya di kayu salib demi silih atas dosa-dosa yang pernah dilakukan manusia.

Sejarah Minggu Palma
    Perayaan Minggu Palma merujuk pada peristiwa yang dicatat pada empat Injil, yaitu Markus 11:1-11, Matius 21:1-11, Lukas 19:28-44, dan Yohanes 12:12-19. Dalam perayaan Minggu Palma, dikenang peristiwa masuknya Yesus ke kota Yerusalem dan dielu-elukan oleh orang banyak.
    Masuknya Yesus Kristus ke kota suci Yerusalem adalah hal yang istimewa, sebab hal ini terjadi sebelum Yesus disiksa, diolok-olok, dihina, dibunuh, digantungkan di palang penghinaan sebagai seorang penjahat, dan bangkit dari kematian. Itulah alasan kenapa Minggu Palma disebut sebagai pembuka pekan suci, yang berfokus pada pekan terakhir Yesus di kota Yerusalem.
    Pada Minggu Palma Gereja tidak hanya mengenang peristiwa masuknya Yesus ke kota Yerusalem, melainkan juga mengenang kesengsaraan Yesus. Oleh karena itu, Minggu Palma juga disebut sebagai Minggu Sengsara.

Perayaan Minggu Palma
    
    Perayaan Minggu Palma terdiri dari dua suasana yang kontras. Upacara pemberkatan daun palma dilakukan di luar gedung gereja dengan suasana yang meriah, terlebih ketika memasuki gedung Gereja. Umat akan melambai-lambaikan daun palma sambil menyanyikan pujian-pujian dengan lagu yang meriah. 
Kemudian suasana meriah tersebut berganti menjadi suasana menyedihkan ketika memasuki gedung Gereja. Di dalam Liturgi Sabda akan dibacakan kisah penderitaan Yesus.
    Sejak Minggu kelima Prapaskah, patung-patung orang Kudus dan salib-salib diselubungi. Salib-salib tersebut diselubungi sampai akhir liturgi Jumat Agung. Hal ini memiliki simbol bahwa Yesus sungguh menunjukkan kemanusiaannya. Oleh karena itu, perbedaan suasana ini mengingatkan umat Katolik bahwa di dalam kemeriahan sorak-sorai penyambutan Yesus sebagai Raja, ada derita dalam diri Yesus yang harus Ia tanggung sendiri.

Makna Daun Palma di Salib
    Daun palma merupakan simbol dari kehidupan, harapan, dan berkat. Daun palma dalam perayaan Minggu Palma akan diberkati oleh imam, kemudian dapat dibawa pulang oleh umat yang hadir. Biasanya daun palma tersebut akan diletakkan di salib Yesus. Di tahun berikutnya, daun palma yang sudah diberkati dalam Perayaan Minggu Palma akan dikumpulkan dan dibakar sebagai persiapan menerima abu pada hari Rabu Abu.
    Kristus kerap kali menunjukkan hubungan simbol kemenangan atas doa dan kematian. Daun palem memiliki warna hijau, warna dari tumbuh-tumbuhan dan musim semi. Oleh karena itu, daun palma disimbolkan sebagai kemenangan dari musim semi atas musim salju atau kehidupan atas kematian, dan warna hijau merupakan sebuah campuran dari kuning-biru yang melambangkan amal dan registrasi dari pekerjaan jiwa yang baik.

Makna Warna Liturgi Minggu Palma
    Warna Liturgi yang dipakai dalam perayaan Minggu Palma adalah merah. Warna merah merupakan simbol dari api dan darah. Karenanya, warna merah dimaknai sebagai penumpahan darah para martir sebagai saksi iman, sebagaimana Yesus sendiri menumpahkan darah-Nya bagi kehidupan dunia.


22 Maret 2024

Pesta St. Perawan Maria di Bawah Kaki Salib (OSM): Jumat Pekan V Masa Prapaskah

    

    Semua orang pasti pernah jatuh dalam kesulitan dan penderitaan hidup. Namun, cara setiap orang menyelesaikannya berbeda, baik itu tergantung pada sikon maupun keadaan pribadi setiap orang. Ada orang yang dengan mudah menyelesaikan suatu persoalan, ada yang membutuhkan waktu cukup lama untuk keluar dari permasalahan yang dihadapinya, ada yang secara langsung menyelesaikannya dengan emosi yang meluap, dan ada pula yang menyimpan semua persoalan itu di dalam hatinya dan membiarkan waktu yang berbicara dan menyelesaikan persoalan tersebut. Mari kita bersama-sama belajar dari Bunda kita, Bunda Maria, Ibunda Tuhan Yesus.
    Gelar “Bunda Dukacita” diberikan kepada Bunda Maria dengan menitikberatkan pada sengsara dan dukacitanya yang luar biasa selama sengsara dan wafat Kristus. Menurut tradisi, sengsara Bunda Maria ini tidak terbatas hanya pada peristiwa-peristiwa sengsara dan wafat Kristus; melainkan meliputi “tujuh dukacita” Maria, seperti yang dinubuatkan Nabi Simeon yang memaklumkannya kepada Maria, “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan - dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri -, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang.” (Lukas 2:34-35). Tujuh Dukacita Bunda Maria meliputi: Nubuat Simeon, Pengungsian Keluarga Kudus ke Mesir; Kanak-kanak Yesus Hilang dan Diketemukan di Bait Allah; Bunda Maria Berjumpa dengan Yesus dalam Perjalanan-Nya ke Kalvari; Bunda Maria berdiri di kaki Salib ketika Yesus Disalibkan; Bunda Maria Memangku Jenazah Yesus setelah Ia Diturunkan dari Salib; dan kemudian Yesus Dimakamkan. 
    Secara keseluruhan, nubuat Simeon mengenai sebilah pedang akan menembus hati Bunda Maria digenapi dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Oleh sebab itu, Bunda Maria terkadang dilukiskan dengan hatinya terbuka dengan tujuh pedang menusuk dan menembusinya. Dan yang terpenting ialah bahwa setiap dukacita diterima Bunda Maria dengan gagah berani, dengan penuh kasih, dan dengan penuh kepercayaan, seperti digemakan dalam Fiat-nya, “jadilah padaku menurut perkataan-Mu Tuhan,” yang diucapkannya pertama kali dalam peristiwa Kabar Sukacita.
    Peringatan Santa Perawan Maria Berdukacita mulai populer pada abad keduabelas, meskipun dalam berbagai gelar yang berbeda. Beberapa tulisan didapati berasal dari abad kesebelas, teristimewa di kalangan para biarawan Benediktin. Pada abad XIV dan XV, peringatan dan devosi ini telah tersebar luas di kalangan Gereja. Yang menarik, pada tahun 1482, peringatan ini secara resmi dimasukkan dalam Misale Romawi dengan gelar “Santa Perawan Maria Bunda Berbelas Kasihan,” (Our Lady of Compassion) dengan menekankan besarnya cinta kasih Bunda Maria yang diperlihatkannya dalam sengsara bersama Putranya. Kata `compassion' berasal dari kata Latin `cum' dan `patior' yang artinya “menderita bersama”. Dukacita Bunda Maria melampaui dukacita siapa pun oleh sebab ia adalah Bunda Yesus, yang bukan hanya Putranya, melainkan juga Tuhan dan Juruselamatnya; Bunda Maria sungguh menderita bersama Putranya. 
    Pada tahun 1727, Paus Benediktus XIII memasukkan Peringatan Santa Perawan Maria Bunda Berbelas Kasihan dalam Penanggalan Romawi, yang jatuh pada hari Jumat sebelum Hari Minggu Palma. Peringatan ini kemudian ditiadakan dengan revisi penanggalan yang diterbitkan dalam Misale Romawi tahun 1969. Pada tahun 1668, peringatan guna menghormati Tujuh Dukacita Maria ditetapkan pada hari Minggu setelah tanggal 14 September, yaitu Pesta Salib Suci. Peringatan ini kemudian disisipkan dalam penanggalan Romawi pada tahun 1814, dan Paus Pius X menetapkan tanggal yang permanen, yaitu tanggal 15 September sebagai Peringatan Tujuh Duka Santa Perawan Maria (yang sekarang disederhanakan menjadi Peringatan Santa Perawan Maria Berdukacita). Penekanan utamanya di sini adalah Bunda Maria yang berdiri dengan setia di kaki salib di mana Putranya meregang nyawa; seperti dicatat dalam Injil St. Yohanes, “Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: `Ibu, inilah, anakmu!' Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: `Inilah ibumu!'” (Yohanes 19:26-27). Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja menulis, “…ia sesuai dengan rencana Allah berdiri di dekatnya. Di situlah ia menanggung penderitaan yang dahsyat bersama dengan Putranya yang tunggal. Dengan hati keibuannya ia menggabungkan diri dengan korban-Nya, yang penuh kasih menyetujui persembahan korban yang dilahirkannya.” (#58).

    St. Bernardus (+1153) menulis, “Sungguh, ya Bunda Maria, sebilah pedang telah menembus hatimu….Ia wafat secara jasmani oleh karena kasih yang jauh lebih besar daripada yang dapat dipahami manusia. Bunda-Nya wafat secara rohani oleh karena kasih seperti yang tak dapat dibandingkan selain dengan kasih-Nya.” (De duodecim praerogatativs BVM).
    Dengan menekankan belas kasihan Bunda Maria, Bapa Suci kita, Paus Yohanes Paulus II, mengingatkan umat beriman, “Bunda Maria yang Tersuci senantiasa menjadi penghibur yang penuh kasih bagi mereka yang mengalami berbagai penderitaan, baik fisik maupun moral, yang menyengsarakan serta menyiksa umat manusia. Ia memahami segala sengsara dan derita kita, sebab ia sendiri juga menderita, dari Betlehem hingga Kalvari. 'Dan jiwa mereka pula akan ditembusi sebilah pedang.' Bunda Maria adalah Bunda Rohani kita, dan seorang ibunda senantiasa memahami anak-anaknya serta menghibur dalam penderitaan mereka. Dengan demikian, Bunda Maria mengemban suatu misi istimewa untuk mencintai kita, misi yang diterimanya dari Yesus yang tergantung di Salib, untuk mencintai kita selalu dan senantiasa, dan untuk menyelamatkan kita! Lebih dari segalanya, Bunda Maria menghibur kita dengan menunjuk pada Dia Yang Tersalib dan Firdaus!” (1980).
   Oleh sebab itu, sementara kita menghormati Bunda Maria, Bunda Dukacita, kita juga menghormatinya sebagai murid yang setia dan teladan kaum beriman. Marilah kita berdoa seperti yang didaraskan dalam doa pembukaan Misa merayakan peringatan ini: “Bapa, sementara PutraMu ditinggikan di atas salib, Bunda-Nya Maria berdiri di bawah kaki salib-Nya, menanggung sengsara bersama-Nya. Semoga Gereja-Mu dipersatukan dengan Kristus dalam Sengsara dan Wafat-Nya, sehingga beroleh bagian dalam kebangkitan-Nya menuju hidup baru.”Dengan meneladani Bunda Maria, semoga kita pun dapat mempersatukan segala penderitaan kita dengan sengsara Kristus, serta menghadapinya dengan gagah berani, penuh kasih dan kepercayaan.  

Ordo Hamba-hamba Maria (OSM)

Sang Pelindung Penyakit Kanker dari OSM

    Pada hari ini dalam Ordo Hamba-hamba Maria (OSM) dirayakan pesta dari salah seorang figur besar yang juga merupakan satu dari antara San...

Para Hamba Maria