Setiap tanggal 30 Juni, aku bersama kesembilan saudaraku menjalani momen istimewa dalam hidup kami sebagai biarawan. Lima di antara kami berada di komunitas 7 Bapa Pendiri di Malang, sementara empat lainnya berkarya di Meksiko. Pada hari itu, kami berkumpul untuk memperbarui Kaul-kaul kebiaraan kami. Ritual tahunan ini dapat dianalogikan dengan perayaan ulang tahun Kaul perdana kami. Tahun ini menandai pembaruan Kaul untuk keenam kalinya sejak kami pertama kali mengucapkannya. Momen ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan hidup religius kami sebagai para hamba Maria. Ini bukan sekadar formalitas, melainkan kesempatan berharga untuk mengevaluasi kembali komitmen dan dedikasi kami kepada Tuhan dan sesama.
Dalam prosesi pembaruan Kaul ini, kami diajak untuk merenungkan kembali janji-janji yang telah kami ucapkan. Kami merefleksikan bagaimana kami telah menghidupi Kaul-kaul tersebut selama setahun terakhir, mengakui kekurangan kami, dan memperbarui tekad untuk hidup lebih setia pada panggilan ini. Pembaruan Kaul juga menjadi momen untuk menguatkan ikatan persaudaraan di antara kami. Meskipun terpisah jarak, dengan sebagian berada di Indonesia dan sebagian di Meksiko, kami dipersatukan dalam semangat dan tujuan yang sama. Kami saling mendukung dalam doa dan semangat, menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya milik pribadi, tetapi juga milik komunitas.
Sebagai para hamba Maria, kami berusaha meneladani sikap pelayanan dan kesetiaan Bunda Maria. Pembaruan Kaul ini menjadi pengingat akan panggilan kami untuk menjadi saksi kasih Kristus di dunia, mengikuti jejak Maria yang setia. Kami berharap, melalui pembaruan komitmen ini, kami dapat semakin bertumbuh dalam iman dan pelayanan, membawa kehadiran Kristus ke tengah masyarakat yang kami layani.
Setiap kali aku memperbarui kaul-kaulku - kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian - aku merasa seperti menegaskan kembali janji pernikahanku dengan Kristus dan bunda Maria. Ini bukan sekadar formalitas atau rutinitas tahunan, melainkan sebuah kesempatan untuk menyelami lebih dalam makna panggilan hidupku. Dalam proses ini, aku diajak untuk merefleksikan bagaimana aku telah menghidupi kaul-kaul ini selama setahun terakhir, mengakui kegagalan dan kelemahanku, serta memperbaharui tekadku untuk hidup lebih setia pada panggilan ini.
Kaul kemiskinan "menantangku" untuk terus melepaskan keterikatan pada hal-hal duniawi dan mempercayakan hidupku sepenuhnya pada pemeliharaan Tuhan. Ini bukan berarti hidup dalam kekurangan, tetapi lebih pada sikap batin yang bebas dari hasrat akan kepemilikan dan status. Dalam konteks pelayananku sebagai hamba Maria, ini berarti menggunakan segala sumber daya yang ada untuk melayani sesama, bukan untuk kepentingan pribadi. Menghidupi kaul kemiskinan ini mengajarkanku untuk melihat kekayaan dalam kesederhanaan dan menemukan kelimpahan dalam berbagi. Setiap hari, aku diajak untuk mengevaluasi kebutuhanku yang sesungguhnya, membedakannya dari keinginan-keinginan yang seringkali hanya didorong oleh ego atau tuntutan sosial. Proses ini membantuku untuk lebih peka terhadap kebutuhan orang lain dan lebih bersyukur atas apa yang kumiliki. Dalam praktiknya, kaul kemiskinan ini juga mendorongku untuk hidup lebih ramah lingkungan dan bertanggung jawab dalam penggunaan sumber daya. Aku belajar untuk meminimalisir konsumsi, mendaur ulang, dan berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Sikap ini tidak hanya bermanfaat bagi diriku sendiri, tetapi juga menjadi kesaksian hidup bagi masyarakat yang sering terjebak dalam budaya konsumerisme. Lebih dari itu, kaul kemiskinan membuka mataku pada kekayaan spiritual yang jauh melampaui harta duniawi. Aku menemukan bahwa semakin aku melepaskan keterikatan pada hal-hal material, semakin aku dapat merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupku. Kemiskinan ini justru membuatku kaya dalam relasi - dengan Tuhan, sesama, dan alam ciptaan.
Kaul ketaatan "mengajarkanku" untuk terus mencari dan melaksanakan kehendak Tuhan dalam hidupku. Ini melibatkan proses discernment yang terus-menerus, mendengarkan suara Tuhan melalui doa, Kitab Suci, ajaran Gereja, dan komunitas. Ketaatan ini bukan penghambaan buta, melainkan penyerahan diri yang dewasa dan penuh cinta kepada rencana Tuhan yang lebih besar. Dalam menghidupi kaul ketaatan, aku belajar bahwa kebebasan sejati ditemukan dalam penyerahan diri kepada kehendak Tuhan. Ini adalah sebuah paradoks yang indah - semakin aku menyerahkan kehendakku kepada-Nya, semakin aku merasakan kebebasan untuk menjadi diri yang sejati sesuai rencana-Nya. Proses discernment dalam ketaatan ini mengajarkanku untuk lebih peka terhadap gerakan Roh Kudus dalam hidupku. Aku belajar untuk membedakan antara dorongan-dorongan egoku dan bisikan lembut Tuhan. Ini membutuhkan keheningan, kesabaran, dan kerendahan hati untuk mendengar dan merespons dengan tepat. Ketaatan juga membawaku pada pemahaman yang lebih dalam tentang makna hidup berkomunitas. Dalam komunitas religius, ketaatan bukan hanya kepada Tuhan, tetapi juga kepada pemimpin dan sesama anggota komunitas. Ini mengajarkanku tentang nilai kerja sama, saling menghormati, dan pengorbanan demi kebaikan bersama. Kaul ketaatan ini mendorongku untuk terus bertumbuh dalam kebijaksanaan dan kedewasaan spiritual. Aku belajar untuk tidak terlalu cepat menilai atau bereaksi, melainkan untuk merenungkan dan mencari kehendak Tuhan dalam setiap situasi. Ini membantu aku menjadi pribadi yang lebih bijaksana dan penuh pertimbangan dalam mengambil keputusan. Dalam pelayananku sebagai hamba Maria, ketaatan ini menjadi saksi hidup akan penyerahan diri Maria kepada rencana Allah. Seperti Maria yang berkata "Jadilah padaku menurut perkataanmu", aku pun berusaha untuk mengatakan "ya" kepada Tuhan setiap hari, bahkan ketika jalan-Nya tidak selalu mudah dimengerti.
Kaul kemurnian "memanggilku" untuk mencintai dengan cinta Kristus sendiri. Ini bukan sekadar tentang menjaga kesucian fisik, tetapi lebih pada mengembangkan cinta yang inklusif dan tidak membeda-bedakan. Sebagai hamba Maria, aku dipanggil untuk meneladani cinta Maria yang murni dan total kepada Tuhan dan sesama. Menghidupi kaul kemurnian ini mengajarkanku untuk melihat setiap orang dengan pandangan Kristus. Ini berarti menghargai martabat setiap individu tanpa membedakan latar belakang, status, atau kondisi mereka. Aku belajar untuk mengembangkan cinta yang tulus dan tanpa pamrih, yang tidak mencari keuntungan pribadi atau kepuasan emosional semata. Dalam praktiknya, kaul kemurnian ini mendorongku untuk membangun relasi yang sehat dan mendalam dengan sesama. Aku belajar untuk mendengarkan dengan empati, memberikan perhatian yang tulus, dan hadir sepenuhnya bagi mereka yang membutuhkan. Ini juga berarti menjaga batasan yang tepat dalam relasi, menghormati ruang pribadi orang lain sambil tetap terbuka dan ramah. Kaul kemurnian membawaku pada pemahaman yang lebih dalam tentang cinta ilahi. Aku menemukan bahwa semakin aku membuka hatiku untuk mencintai secara universal, semakin aku dapat merasakan dan merefleksikan kasih Tuhan dalam hidupku. Kemurnian ini menjadi sumber kekuatan dan sukacita dalam pelayananku. Dalam konteks sebagai hamba Maria, aku berusaha untuk meneladan kemurnian hati Maria. Seperti Maria yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani rencana Allah, aku pun dipanggil untuk memberikan diriku sepenuhnya dalam pelayanan kepada Tuhan dan sesama. Ini melibatkan perjuangan terus-menerus untuk memurnikan motivasi dan tindakanku, agar selalu bersumber dari kasih yang sejati. Kaul kemurnian juga mengajarkanku untuk menjaga kesucian pikiran dan hati. Ini berarti berjuang melawan godaan dan kecenderungan egois, sambil terus mengembangkan kebajikan dan karakter yang mencerminkan Kristus. Dalam prosesnya, aku belajar untuk lebih mengandalkan rahmat Tuhan, menyadari bahwa kemurnian sejati hanya mungkin dengan pertolongan-Nya.
Seiring dengan pembaruan kaul yang keenam ini, aku merasakan panggilan yang semakin kuat untuk mempersiapkan diri menerima Kaul Kekal. Ini adalah langkah besar yang memerlukan kesiapan batin yang matang. Aku menyadari bahwa Kaul Kekal bukan akhir dari perjalanan, melainkan awal dari komitmen seumur hidup untuk mengikuti Kristus dengan lebih radikal.
Persiapan menuju Kaul Kekal ini melibatkan proses pendalaman iman yang intensif. Aku diajak untuk mengevaluasi kembali motivasiku, memperkuat fondasi spiritualku, dan memastikan bahwa keputusan ini diambil dengan penuh kesadaran dan kebebasan. Ini juga waktu untuk menghadapi ketakutan dan keraguan yang mungkin masih tersisa, membawanya dalam doa dan percakapan spiritual dengan pembimbing dan komunitas.
Dalam perjalanan ini, aku semakin menyadari bahwa kesiapan batin untuk Kaul Kekal bukan berarti aku sudah sempurna atau bebas dari kelemahan. Sebaliknya, ini adalah pengakuan akan ketergantunganku yang total pada rahmat Tuhan. Aku dipanggil untuk menyerahkan seluruh hidupku - dengan segala kekuatan dan kelemahannya - ke dalam tangan Tuhan, percaya bahwa Dia akan terus membentuk dan menguduskanku.
Pembaruan kaul yang keenam ini juga menjadi kesempatan untuk merefleksikan bagaimana aku telah bertumbuh dalam spiritualitas Hamba-hamba Maria. Devosi kepada Bunda Maria menjadi sumber inspirasi dan kekuatan dalam menghidupi kaul-kaulku. Seperti Maria yang mengucapkan "Ya" kepada rencana Tuhan dengan penuh kepercayaan, aku pun dipanggil untuk mengucapkan "Ya" setiap hari dalam pelayanan dan pengabdianku. Dalam persiapan menuju Kaul Kekal, aku juga semakin menyadari pentingnya komunitas. Kaul-kaul ini bukan hanya komitmen pribadiku kepada Tuhan, tetapi juga kepada komunitas dan Gereja. Aku dipanggil untuk hidup dalam persaudaraan yang autentik, saling mendukung dan menguatkan dalam perjalanan panggilan ini.
Akhirnya, pembaruan kaul yang keenam ini dan persiapan menuju Kaul Kekal membawaku pada pemahaman yang lebih dalam tentang makna menjadi "hamba". Seperti Maria yang menyebut dirinya "hamba Tuhan", aku pun dipanggil untuk hidup dalam sikap pelayanan yang total. Ini berarti menemukan kebebasan sejati dalam penyerahan diri kepada Tuhan dan sesama. Dengan demikian, pembaruan kaul yang keenam ini menjadi batu loncatan penting menuju Kaul Kekal. Ini adalah waktu untuk memperdalam komitmen, memperkuat iman, dan mempersiapkan hati untuk "Ya" yang lebih besar dan permanen kepada panggilan Tuhan. Dalam proses ini, aku berharap dapat semakin menyerupai Kristus dan menjadi saksi kasih-Nya di dunia, mengikuti teladan Maria, hamba Tuhan yang setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar